Skip to main content

Belajar Perjuangan dari Seorang Anak Penjaja Keliling

Jumat minggu kemarin saya mengantarkan draft tugas akhir saya kepada dosen pembimbing saya. Hujan yang lumayan lebat turun di sekitar kampus kami, saya menunggu dosen saya di depan ruangan komisi pendidikan.

Saat sedang menunggu sambil berdiri bersandar di dinding, saya melihat seorang anak kecil mondar mandir dibawah kanopi gedung fakultas. Memegang sebuah payung dia mencari-cari ke arah dalam bangunan. Dari penampilannya saya perkirakan dia sedang bekerja. Seorang anak kecil kisaran 10-12 tahun. Bekerja sebagai ojek payung.

Tidak ada yang berkesan dari penampilan anak kecil itu, jadi saya tidak ambil pusing dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Anak kecil itupun segera menghilang dari pandangan saya. Namun beberapa saat kemudian muncul diantara mobil-mobil mengkilap yang di parkir di depan Komdik tempat saya berdiri. Dengan wajah yang sumringah  di mengangkat tangannya ke depan wajahnya, selembar uang dua ribu rupiah terjepit oleh tangan-tangan kecilnya.

Apa yang terjadi kemudian adalah, dia tersenyum dan mencium uang dua ribu rupiah tersebut sambil berlalu dengan lincahnya. Perilaku anak kecil itu menyadarkan saya, tidak mudah untuk mencari uang. Penghargaan setinggi-tingginya saya berikan kepada anak itu, walau hanya dalam hati. Saya tidak tahu akan diapakan uang itu olehnya, tapi saya sangat menghargai usahanya untuk mencari uang dan mensyukuri apa yang telah dia dapatkan. Rasa syukur itu dapat saya lihat saat dia tersenyum dan mencium selembar 2rb tadi.

Selanjutnya saya teringat dengan seorang anak kecil yang berjualan kue di kampus kami (saya dan istri). Mungkin umurnya 8-10 tahun, membawa sebuah baskom dimana kue-kue jajakannya di taruh. Wajahnya begitu polos dan mungkin agak kosong. Tidak ada senyum seperti anak-anak lain yang biasa kami lihat membawa kantong berisi kertas-kertas dan meminta belas kasihan di jalan samping kampus kami. Anak kecil dengan wajah sendu ini rasanya jauh lebih baik dari pada orang-orang yang berjalan-jalan mendatangi orang-orang sambil menadahkan tangannya.

Berikutnya, malam minggu saya jalan-jalan ke Curug Nangka di Ciapus Bogor. Setelah menginap di salah satu penginapan di sana, hari minggunya baru saya dan teman saya mengunjungi Curug yang terdapat di kawasan tersebut. Saat terjebak hujan kami berteduh di teras sebuah toilet umum. Seorang wanita kemudian datang ikut berteduh, umurnya mungkin antara 50-60 tahun. Biasa saja.

Beberapa saat kemudian datang seorang wanita lain, masih dalam hujan membawa baskom seperti wanita sebelumnya. Bedanya, badannya sudah cukup merunduk ke depan. Umurnya mungkin sekitar 70-an. Untuk membawa bungkusan itu saja mungkin sudah berat, tapi dia membawanya sambil mendaki jalanan yang menuju curug-curug tujuan kami. Wanita itu, mungkin lebih pantas saya panggil mbah, duduk di depan saya, meletakkan jajakannya diatas bale dan menawarkannya kepada kami sambil sedikit terengah-engah. Dari dekat saya dapat melihat keriput wajahnya, kulit putih tipis dengan sedikit sekali lapisan daging.

Kadang saya berpikir, kemana anak cucu orang-orang tua yang sering saya lihat berjualan dengan membawa beban yang lumayan berat? Tapi biasanya saya akan menjawab sendiri pertanyaan itu, mungkin mereka hanya tidak mampu untuk duduk diam menunggu. Mungkin tubuh mereka sudah terbiasa dengan kerja keras, dan menjadi sakit saat disuruh untuk diam. Dan mungkin masih banyak hal lain yang menjadi latar belakangnya, yang jelas mereka adalah orang-orang hebat yang berhasil mengalahkan diri sendiri.

Sekali lagi saya melihat, usaha manusia untuk mencari uang, mencari penghidupan. Tidak perduli usia, tidak perduli tubuh renta, tidak perduli cuaca, mereka berjuang.

Comments

Popular posts from this blog

Tips Submit Artikel di Vivalog agar di Approve

Sudah bebeberapa artikel saya submit di vivalog , sudah beberapa kali malah, tapi tidak satu pun yang masuk dan di publish di sana. Rasanya agak frustasi juga (yang ringan saja), karena agak bertanya-tanya apa yang salah dari artikel saya. Saya pun mencari-cari apa yang salah dengan artikel yang saya submit di beberapa blog melalui google. Akhirnya karena tidak juga menemukan jawaban yang memuaskan saya melepas i-frame dari vivalog karena merasa ada ketidakadilan. Sementara saya memasang frame di blog saya, vivalog tidak menerima satupun artikel yang saya submit. Kemarin, saya mencoba kembali submit artikel di vivalog , Alhamdulillah, saya sangat bersyukur ternyata kali kemarin artikel saya bisa di approve dan di publish di vivalog. Bahkan langsung menjadi salah satu artikel populer, dan seperti penjelasan di banyak blog lainnya, visitor saya langsung meroket hingga sepuluh kali lipat. Rasanya jadi terbayar sekali saya membuat atau menyadur artikel di blog saya . Saya kemu...

Serakalan - Budaya Masyarakat Melayu Sambas

Bagi masyarakat Sambas, Serakalan adalah kata yang sangat familiar. Serakalan adalah salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat Sambas, namun juga dikenal oleh beberapa masyarakat Islam lain di Indonesia. Kebudayaan ini masuk bersamaan dengan kedatangan Islam ke Indonesia. Beberapa waktu yang lalu dalam kunjungan saya ke Sambas sempat mengikuti acara Serakalan yang dilakukan di rumah salah satu keluarga jauh. Berada di tengah-tengah acara Serakalan tersebut benar-benar pengalaman baru bagi saya. Bersyukur juga budaya melayu ini masih dipertahankan masyarakat Sambas. Pada awalnya Serakalan merupakan wujud ekspresi ta’dzim yang berhubungan dengan peristiwa kedatangan Rasulullah hijrah di Madinah. Serakalan berisi syair-syair Pujian kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam istilah lain, ritual ini dapat pula disebut dengan Marhabanan atau “debaan” (Maulid Ad-Diba’iy). Pembaca Serekalan - Sambas Serakalan telah berkembang dikalangan masyarakat Sambas dan dikemas sedemikian rupa sehingga...

Pantaskah Aku disebut Sebagai Seorang Blogger?

Beberapa hari yang lalu saya menemukan satu bacaan yang menarik di Kompasiana, tentang dunia perbloggeran yang agak menggelitik dan bikin gelisah (geli-geli bas... ah sudahlah). Pernyataannya adalah sebagai berikut: Begitu mudah kita menempelkan suatu profesi hanya karena melakukan satu dua pekerjaan saja. Menyebut diri blogger hanya karena punya blog (padahal tidak update juga), bla bla bla.... Pernyataan diatas bisa dilihat dalam kolom Dari Redaksi yang ditulis oleh Pemred Femina. Bagaimana menurut rekan-rekan? Adakah perasaan tergelitik... atau tersinggung? Tapi tunggu dulu, pernyataan sang Pemred tersebut masih ada kelanjutannya, berikut potongan lainnya... “Mungkin ini urusan pribadi, namun di ranah profesional hal ini sulit dibenarkan. Penghargaan terhadap mereka yang betul-betul berprofesi itu menjadi terabaikan. Apalagi ketika mereka kalah ‘pamor’ dengan para wannabe ini yang populer di ranah maya”. Gimana? Ada yang tersenggol? Pernyataan di atas saya ketahui dari blog K...