Skip to main content

Kota Tua Jakarta: Museum Bank dan Kali Besar

Kota Tua Jakarta, menurut saya adalah tempat paling menyenangkan di Jakarta. Jadi rasanya rugi sekali kalau sedang jalan-jalan ke Jakarta tidak sempat mengunjungi kawasan kota lama ini. Kawasan yang memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, tidak hanya bagi warga Jakarta, tetapi juga bagi seluruh Bangsa Indonesia. Kenapa demikian? Alasan utamanya adalah karena kawasan ini adalah pusat kendali belanda atas wilayah jajahannya di Nusantara. Di kawasan ini terdapat bangunan-bangunan bekas kantor-kantor VOC yang telah berumur ratusan tahun.

Beberapa bulan yang lalu saya dan dinda mengunjungi kawasan Kota Tua Jakarta untuk mengikuti praktikum kuliah yang diasisteninya, dinda mengasisteni mata kuliah tentang lansekap budaya di jurusan arsitektur lansekap. Inilah salah satu alasan kenapa kami senang sekali dengan jurusan kuliah yang satu ini, banyak sekali acara jalan-jalannya. Kali itu adalah kali kedua kami kesana. Namun, saat pertama dulu kami hanya mengunjungi halaman museum Fatahillah dan nongkrong minum di Cafe Batavia yang... wah... sudahlah... :p

Perjalanan kami dimulai dari bogor menggunakan KRL tujuan stasiun kota. Agak kagok juga karena sudah lama tidak menggunakan KRL yang telah berganti sistem menggunakan kartu yang di tap ke mesin di portal masuk ruang tunggu penumpang. Tapi Alhamdulillah berjalan lancar dan tidak ada yang perlu di khawatirkan.

Sampai di stasiun kota tua, kami langsung menuju muster point yang disepakati, gedung Museum bank yang terdapat di seberang jalan stasiun kota. Sementara dinda sedang brefing dengan dosen dan mahasiswa yang praktikum, saya masuk ke dalam bagian depan museum, sekedar mengambil beberapa foto. Tidak berani masuk lebih jauh kedalam karena takut tertinggal rombongan. Di dekat pintu masuk berdiri seorang laki-laki berkumis tebal dengan kulit yang mengkilat menarik perhatian saya, jadi saya ambil gambarnya dari dekat. Laki-laki tersebut hanya diam dan tidak bergerak sama sekali. Dua orang anak perempuan memegang laki-laki tersebut, dan dia tetap tidak bergeming. Pandangannya tetap lurus kedepan. 


Setelah  mengambil beberapa gambar laki-laki yang dingin tersebut saya keluar dan mengambil gambar jalanan di depan gedung. Di tepi jalan seorang manusia, sepertinya perempuan duduk diatas kursi, tangannya memegang segepok uang. Dulu saya hanya melihatnya di televisi, sekarang saya melihat langsung, perempuan itu adalah penyedia layanan jasa penukaran uang receh. Berdasarkan beberapa artikel yang saya baca, ternyata jasa penukaran uang ini berpotensi menimbulkan riba, jadi sebisa mungkin sebaiknya kita menghindari penggunaan jasa ini.



Dari Museum Bank Mandiri kami menyusuri jalan, lewat depan museum Bank Indonesia. Museum Bank Indonesia adalah bangunan yang tampak megah, namun dari luar tampak sepi. Dekat gerbang masuk ada pos keamanan, melihat gaya penjaganya, saya merasa gedung tersebut seperti restricted area, atau mungkin gedung itu seperti Federal Reserve-nya Indonesia, tapi nyamar jadi museum biar nggak ketahuan. #sotoymodeon


Lewat dari kompleks gedung-gedung bank, kami sampai di jembatan yang membentang di atas Kali Besar. Angin membawa udara dari permukaan Kali Besar dan menghembuskannya ke kami yang sedang berjalan.dengan aroma yang luar biasa menyesakkan hidung dan dada. Secepatnya saya ingin beranjak dari jembatan tersebut sebelum pingsan di pinggir jalan. Jakarta memang metropolitan, tapi sulit untuk dipungkiri kota terbesar di Indonesia ini salah urus sejak... bahkan mungkin sejak Indonesia merdeka.

Belok kekanan kami memasuki jalan kali besar, berjalan pedestrian waterfront yang indah diatas, hitam di bawah. Hitam dengan aroma pekat sesekali menyapa hidung. Mungkin butuh 50 tahun untuk menjadikan sungai itu tidak berbau dan hitam seperti itu, bahkan mungkin 100 tahun belum cukup.
Bersambung

Comments

Popular posts from this blog

Tomistoma Survey: Menyusuri Kapuas dan Leboyan

Danau Sentarum, adalah salah satu taman nasional Indonesia yang berlokasi di daerah perhuluan Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Pertama kali saya melihat secara langsung salah satu danau terunik di dunia ini sekitar November 2015. Saat melihat secara langsung tersebut, terbersit cita-cita di benak saya untuk mengunjunginya. Allah Sang Maha Pendengar mengabulkan cita-cita saya tersebut, tidak berapa lama selang dari terbang di atas danau, saya berkesempatan membelah air danau sentarum dari atas speedboat bertenaga 30 pk. Berikut adalah cerita perjalanan tersebut. Pemandangan Danau Sentarum dari Bukit Tekenang Perjalanan dimulai dari Pontianak dengan anggota terdiri dari Imanul Huda, Hari Prayogo dan Janiarto Paradise. Kami berkumpul di pool Damri Pontianak. Seperti jadwal biasanya, bus berangkat pada pukul 19.00 menuju Sintang. Perjalanan malam hanya menyajikan pemandangan gelapnya tepian jalan yang hanya kadang-kadang berhias lampu rumah masyarakat. Sisanya hanya sem...

Mie Ayam Keraton, Kemang

Saya sudah beberapa kali dengar tentang Kemang sebagai pusat kuliner Jakarta, hal ini langsung saya buktikan sendiri saat pertama kali datang ke Kemang. Kunjungan pertama saya adalah ke restoran Locarasa yang menyajikan resep-resep makanan bule dengan cita rasa Indonesia. Tapi kali ini saya tidak membahas tentang Lokarasa, kali ini saya ingin berbagi tentang kuliner kaki lima di sekitar kemang. Kuliner ini berada di pertigaaan jalan tidak jauh dari Favehotel Kemang (sekitar 25 meter). Di pojok kuliner ini terdapat beberapa gerobak makanan yang beranekaragam, ada yang menjual martabak manis, warteg, jus buah, kopi, dan mie ayam. Sebagai penggemar masakan mie, saya tergoda untuk merasai mie ayam di pojok kuliner kemang tersebut. Mie ayam keraton, demikian tag line yang tertulis di bagian depan gerobak tersebut. Nama yang menjanjikan, mungkin abang penjualnya punya resep mie ayam dari keraton. Setelah memesan, tidak butuh waktu lama bagi mas penjualnya untuk menghadirkan mie ayam kerat...

Kesegaran Kecombrang di Heart of Borneo

Jauh dari arus kendaraan yang mengental di banyak titik, hiruk pikuk pasar laksana sarang lebah. Salah satu wilayah kerja saya berada di kawasan jantung Kalimantan, atau sering disebut sebagai Heart of Borneo. Seperti pada kegiatan-kegiatan sebelumnya di desa Tanjung, pagi kami disambut pemandangan bentangan Bukit Belang yang kadang bersih dan kadang berhias kabut putih.  Sarapan pagi bukan hal yang umum di desa Tanjung, namun berhubung ada tamu, empunya rumah memasak pagi-pagi untuk menghibur kami. Sebenarnya saya sendiri merasa sungkan, tapi lebih baik sungkan daripada sakit, kan? Disamping nasi dan lauknya, pagi itu perhatian saya tersita oleh sayuran berwarna merah mirip bunga yang dicincan. Ternyata sayur yang saya lihat itu memang bunga yang dicincang bersama tangkai tanamannya. Setelah menanyakan dan tahu nama tanamannya, saya langsung mencobanya. Pada kunyahan pertama, saya langsung menyukai sayuran tersebut. Antara pedas, segar dan wangi. Rasa yang membuat saya ketagihan...