Saat sedang menunggu sambil berdiri bersandar di dinding, saya melihat seorang anak kecil mondar mandir dibawah kanopi gedung fakultas. Memegang sebuah payung dia mencari-cari ke arah dalam bangunan. Dari penampilannya saya perkirakan dia sedang bekerja. Seorang anak kecil kisaran 10-12 tahun. Bekerja sebagai ojek payung.
Tidak ada yang berkesan dari penampilan anak kecil itu, jadi saya tidak ambil pusing dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Anak kecil itupun segera menghilang dari pandangan saya. Namun beberapa saat kemudian muncul diantara mobil-mobil mengkilap yang di parkir di depan Komdik tempat saya berdiri. Dengan wajah yang sumringah di mengangkat tangannya ke depan wajahnya, selembar uang dua ribu rupiah terjepit oleh tangan-tangan kecilnya.
Apa yang terjadi kemudian adalah, dia tersenyum dan mencium uang dua ribu rupiah tersebut sambil berlalu dengan lincahnya. Perilaku anak kecil itu menyadarkan saya, tidak mudah untuk mencari uang. Penghargaan setinggi-tingginya saya berikan kepada anak itu, walau hanya dalam hati. Saya tidak tahu akan diapakan uang itu olehnya, tapi saya sangat menghargai usahanya untuk mencari uang dan mensyukuri apa yang telah dia dapatkan. Rasa syukur itu dapat saya lihat saat dia tersenyum dan mencium selembar 2rb tadi.
Selanjutnya saya teringat dengan seorang anak kecil yang berjualan kue di kampus kami (saya dan istri). Mungkin umurnya 8-10 tahun, membawa sebuah baskom dimana kue-kue jajakannya di taruh. Wajahnya begitu polos dan mungkin agak kosong. Tidak ada senyum seperti anak-anak lain yang biasa kami lihat membawa kantong berisi kertas-kertas dan meminta belas kasihan di jalan samping kampus kami. Anak kecil dengan wajah sendu ini rasanya jauh lebih baik dari pada orang-orang yang berjalan-jalan mendatangi orang-orang sambil menadahkan tangannya.
Berikutnya, malam minggu saya jalan-jalan ke Curug Nangka di Ciapus Bogor. Setelah menginap di salah satu penginapan di sana, hari minggunya baru saya dan teman saya mengunjungi Curug yang terdapat di kawasan tersebut. Saat terjebak hujan kami berteduh di teras sebuah toilet umum. Seorang wanita kemudian datang ikut berteduh, umurnya mungkin antara 50-60 tahun. Biasa saja.
Beberapa saat kemudian datang seorang wanita lain, masih dalam hujan membawa baskom seperti wanita sebelumnya. Bedanya, badannya sudah cukup merunduk ke depan. Umurnya mungkin sekitar 70-an. Untuk membawa bungkusan itu saja mungkin sudah berat, tapi dia membawanya sambil mendaki jalanan yang menuju curug-curug tujuan kami. Wanita itu, mungkin lebih pantas saya panggil mbah, duduk di depan saya, meletakkan jajakannya diatas bale dan menawarkannya kepada kami sambil sedikit terengah-engah. Dari dekat saya dapat melihat keriput wajahnya, kulit putih tipis dengan sedikit sekali lapisan daging.
Kadang saya berpikir, kemana anak cucu orang-orang tua yang sering saya lihat berjualan dengan membawa beban yang lumayan berat? Tapi biasanya saya akan menjawab sendiri pertanyaan itu, mungkin mereka hanya tidak mampu untuk duduk diam menunggu. Mungkin tubuh mereka sudah terbiasa dengan kerja keras, dan menjadi sakit saat disuruh untuk diam. Dan mungkin masih banyak hal lain yang menjadi latar belakangnya, yang jelas mereka adalah orang-orang hebat yang berhasil mengalahkan diri sendiri.
Sekali lagi saya melihat, usaha manusia untuk mencari uang, mencari penghidupan. Tidak perduli usia, tidak perduli tubuh renta, tidak perduli cuaca, mereka berjuang.
Comments
Post a Comment