Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2015

Bubur Pedas di Tepi Sungai Sambas

National Geographic dalam salah satu artikelnya menyatakan bahwa tahun 2015 adalah tahun terpanas dalam rekaman ilmuan dunia. Panas tersebut benar-benar saya rasakan saat melangkah di gertak (jalan tepi sungai terbuat dari kayu) di tepian sungai Sambas, kulit serasa pedas. Langkah kami percepat menuju rumah salah satu keluarga yang berada di tepi Sungai Sambas. Saat melewati salah satu rumah, empunya rumah keluar yang ternyata adalah teman dari bang Fari (abang ipar saya), kami pun singgah di rumah tersebut. Setelah beberapa menit ngobrol ngalur ngidul, kami ditawari untuk mencicipi  Bubur Pedas. Setelah menolak beberapa kali tawaran padahal mau, akhirnya kami terima juga tawaran tersebut. Selesai makan dan diskusi semi serius tentang batu-batu dan berakhir dengan bang Fari berhasil mengantungi beberapa batu, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah kakak bang Fari yang tidak jauh dari rumah yang barusan kami singgahi. Seorang laki-lagi setengah baya sedang merawat sampannya di ba

Rujak Buah Asiang Singkawang

Sampai di Kota Singkawang, hujan gerimis sedang membasahi permukaan bumi. Rencana awal untuk makan Mie Kering Haji Aman di pending karena kami terlambat beberapa saat setelah mie kering di warung yang berada di dekat gerbang kota Singkawang itu habis. Meskipun perut sudah agak kosong, kami urung untuk turun mencari tempat makan. Namun, bagaimanapun perut harus tetap diisi. Kami menuju pusat kota dan kak Lia dan Bunda turun dari mobil, kali ini targetnya adalah rujak Singkawang yang berada di kawasan pasar. Penampakan rujaknya bisa anda lihat dibawah ini. Rujak Buah Asiang Singkawang Tempat penjualan rujak tersebut menggunakan gerobak, di gerobak tersebut tertulis "Asiang." Mungkin itu nama bapak penjualnya. Menurut saya buah yang digunakan masih sangat segar, ada bengkoang, nanas, sedikit ubi jalar, serta pepaya mengkal. Bumbunya menggunakan kacang yang digiling kasar, bumbu ini tampaknya kurang cocok untuk yang sedang sakit gigi. Bagian paling menarik dari rujak ini ad

Sup Daging Kantin Bestari Mempawah

Alhamdulillah lebaran Idul Fitri tahun ini saya berada di kota kelahiran saya, Pontianak setelah dua tahun kemarin saya berlebaran di kampung orang di seberang lautan. Lebaran kali ini juga menjadi salah satu lebaran paling berkesan sejak saya paham apa itu Idul Fitri. Ada dua alasan kenapa lebaran ini berkesan, pertama adalah karena untuk pertama kalinya sejak lahir di Pontianak, saya menyaksikan langsung atraksi meriam karbit yang rutin di selenggarakan di tepian sungai Kapuas setiap idul Fitri, saya sudah menceritakannya di Dentuman Meriam Malam Takbiran . Alasan kedua adalah karena lebaran kali ini saya dan keluarga mengisi liburan Idul Fitri ini dengan kunjungan ke Kota Sambas. Meskipun sempat di pending dua hari karena ketiadaan mobil yang dapat disewa, akhirnya jadi juga kami ke Sambas. Kunjungan ke kota Sambas ini tidak hanya kami isi dengan silaturahmi, tapi kami sempatkan juga untuk berwisata kuliner serta mengunjungi objek-objek wisata yang terdapat di sekitar Sambas. Ba

Dentuman Meriam Malam Takbiran di Tepian Sungai Kapuas

Idul Fitri, rasanya tidak ada hari yang lebih meriah dalam satu tahun daripada perayaan yang satu ini. Dan kemeriahan itu akan jauh lebih meriah jika saya rayakan bersama keluarga di kampung halaman yang memiliki budaya perayaan Idul Fitri yang luar biasa, yaitu Pontianak. Mengapa luar biasa? Karena kota ini punya tradisi yang setahu saya hanya di miliki oleh kota ini saja, tradisi tersebut adalah Meriam Karbit. Setiap menjelang Idul Fitri, puluhan meriam karbit yang dibuat dari kayu dijejerkan di tepian sungai kapuas secara berkelompok. Satu kelompok kira-kira terdiri dari 4-7 meriam, terbuat dari kayu-kayu bulat yang di keruk bagian dalamnya hingga membentuk rongga seperti meriam yang perang. Beberapa malam menjelang Idul Fitri, meriam-meriam tersebut akan dimainkan untuk menyambut dan meramaikan satu dari dua hari raya umat Islam tersebut. Suaranya yang menggelegar dan dinyalakan secara bergantian akan menggetarkan  udara kota Pontianak dan puncaknya adalah pada malam takbiran

Menyesap Kopi Susu Cafe Corner Gajah Mada Pontianak

Suatu malam, sekelompok pemuda bermotor menuju pusat kota Khatulistiwa yang menurut sebagian warganya -Tionghoa- adalah kawasan Ekor Naga. Sekelompok pemuda itu bukan genk Motor, bukan juga club motor dengan jaket atau kaos seragam. Gerombolan pemuda yang berstatus mahasiswa tersebut kemudian berhenti di sebuah warung kopi, bukan... cafe. Salah satu personil dari gerombolan tersebut adalah saya, saya yang awam dengan kehidupan malam tidak jauh dari jantung kota panas ini. Kami memesan kopi , minum, bicara serius, bicara "omong kosong", dan tertawa. Bagi saya saat itu, warung kopi adalah warung kopi, tempat ngopi, titik. Saya datang saat ingin nongkrong dengan teman-teman yang memang "klik" dengan saya. Mereka adalah teman-teman yang biasa menjadi rekan saat ngopi di bawah bintang malam Langit Khatulistiwa, di depan kayu yang termakan api, hingga embun hinggap di daun-daun rimba tropis Kalimantan, dan berkumpul menjadi tetes-tetes menunggu jatuh dari daun. Dan