Skip to main content

Menyesap Kopi Susu Cafe Corner Gajah Mada Pontianak


Suatu malam, sekelompok pemuda bermotor menuju pusat kota Khatulistiwa yang menurut sebagian warganya -Tionghoa- adalah kawasan Ekor Naga. Sekelompok pemuda itu bukan genk Motor, bukan juga club motor dengan jaket atau kaos seragam. Gerombolan pemuda yang berstatus mahasiswa tersebut kemudian berhenti di sebuah warung kopi, bukan... cafe. Salah satu personil dari gerombolan tersebut adalah saya, saya yang awam dengan kehidupan malam tidak jauh dari jantung kota panas ini.

Kami memesan kopi, minum, bicara serius, bicara "omong kosong", dan tertawa. Bagi saya saat itu, warung kopi adalah warung kopi, tempat ngopi, titik. Saya datang saat ingin nongkrong dengan teman-teman yang memang "klik" dengan saya. Mereka adalah teman-teman yang biasa menjadi rekan saat ngopi di bawah bintang malam Langit Khatulistiwa, di depan kayu yang termakan api, hingga embun hinggap di daun-daun rimba tropis Kalimantan, dan berkumpul menjadi tetes-tetes menunggu jatuh dari daun. Dan kami terlelap setelah cerita-cerita tentang petualangan kami mengalir, tidak terlalu cepat, tidak juga terlalu lambat.

Malam itu, secangkir kopi kami nikmati di tengah derasnya kendaraan membelah jalan Gajah Mada, dan ramainya orang-orang seperti kami yang menikmati malam dan secangkir kopi di tepi jalan yang hampir tak pernah sepi. Asap kendaraan tidak mengganggu kami, bahkan sebagian orang menambah asap di udara dengan bakaran tembakau yang seakan tidak pernah habis, selalu ada batang untuk dibakar. Mungkin asap itu juga keluar dari mulut saya, saya lupa.

Cafe itu bernama Cafe Corner, sebuah cafe yang tidak pernah ingat namanya bersama cerita yang saya tuliskan diatas hingga saya mengunjunginya lagi tiga hari yang lalu. Sampai dirumah selepas tarawih, Dinda mendapat pesan ajakan ngopi dari kakak dan abang ipar. Saya langsung setuju dan Dinda langsung bersiap, dan kami pun berangkat saat jam sudah menunjukkan pukul 21 lewat beberapa menit. Udaranya yang bening saat saya pulang dari masjid raya, kembali putih karena asap pembakaran. Namun asap itu masih bisa kami tolerir.

Perlahan saya dan dinda menyusuri jalan Gajah Mada untuk mencari-cari cafe tersebut, dan tidak butuh waktu lama saya dan dinda menemukan kedua ipar kami. Dua cangkir kopi susu kami pesan untuk berdua. Menurut saya rasanya cukup memuaskan, agak pekat rasa kopinya, namun setelah lewat dari setengah cangkir, gantian susunya yang terasa agak pekat. Tapi tetap nikmat. Dinda dan kak Lia memesan Berger, sebenarnya sudah dari Bogor saya ingin makan berger di Pontianak, tapi malam itu perut saya agak kenyang oleh nasi dan kue-kue berbuka puasa, jadilah hanya nebeng berger punya dinda.

Menjelang pukul 23, asap tercampur rata dengan udara kota yang semakin dingin bersama waktu yang semakin malam. Waktu yang semakin larut mengharuskan kami meninggalkan warung kopi di kawasan pecinan ini dan segera pulang kerumah. Jalan tampak sudah lebih lengang, namun udara di jalan protokol justru lebih pekat oleh asap.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Horor Kampus IPB Baranangsiang

Kota Bogor memiliki banyak objek wisata yang menarik, salah satunya adalah bangunan kampus IPB Dramaga yang berada di tengah-tengah kota bogor, seberang jalan Kebun Raya Bogor. Sebagian area kampus ini sekarang telah menjadi bangunan yang kita kenal sebagai Mall Botani Square, Alhamdulillah pemerintah kota Bogor bersama pejabat-pejabat di Institut Pertanian Bogor telah menetapkan bangunan Kampus IPB Baranangsiang tersebut sebagai sebuah situs cagar budaya. Kampus IPB Baranangsiang tampak depan Sebagai salah satu bangunan tertua di kota Bogor, kampus IPB Baranangsiang memiliki banyak kisah Urban Legend. Beberapa yang paling terkenal adalah kisah tentang dosen misterius dan elevator tua. Kisah tentang dosen misterius saya dengar dari salah satu teman  sekelas saya di Pascasarjana ARL, beliau mendapatkan cerita itu dari seorang kakak tingkatnya. Jadi saya juga tidak mendapatkan langsung dari yang mengalaminya sendiri. Menurut cerita teman saya tersebut, pada suatu malam (kuliah

Tips Submit Artikel di Vivalog agar di Approve

Sudah bebeberapa artikel saya submit di vivalog , sudah beberapa kali malah, tapi tidak satu pun yang masuk dan di publish di sana. Rasanya agak frustasi juga (yang ringan saja), karena agak bertanya-tanya apa yang salah dari artikel saya. Saya pun mencari-cari apa yang salah dengan artikel yang saya submit di beberapa blog melalui google. Akhirnya karena tidak juga menemukan jawaban yang memuaskan saya melepas i-frame dari vivalog karena merasa ada ketidakadilan. Sementara saya memasang frame di blog saya, vivalog tidak menerima satupun artikel yang saya submit. Kemarin, saya mencoba kembali submit artikel di vivalog , Alhamdulillah, saya sangat bersyukur ternyata kali kemarin artikel saya bisa di approve dan di publish di vivalog. Bahkan langsung menjadi salah satu artikel populer, dan seperti penjelasan di banyak blog lainnya, visitor saya langsung meroket hingga sepuluh kali lipat. Rasanya jadi terbayar sekali saya membuat atau menyadur artikel di blog saya . Saya kemu

Serakalan - Budaya Masyarakat Melayu Sambas

Bagi masyarakat Sambas, Serakalan adalah kata yang sangat familiar. Serakalan adalah salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat Sambas, namun juga dikenal oleh beberapa masyarakat Islam lain di Indonesia. Kebudayaan ini masuk bersamaan dengan kedatangan Islam ke Indonesia. Beberapa waktu yang lalu dalam kunjungan saya ke Sambas sempat mengikuti acara Serakalan yang dilakukan di rumah salah satu keluarga jauh. Berada di tengah-tengah acara Serakalan tersebut benar-benar pengalaman baru bagi saya. Bersyukur juga budaya melayu ini masih dipertahankan masyarakat Sambas. Pada awalnya Serakalan merupakan wujud ekspresi ta’dzim yang berhubungan dengan peristiwa kedatangan Rasulullah hijrah di Madinah. Serakalan berisi syair-syair Pujian kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam istilah lain, ritual ini dapat pula disebut dengan Marhabanan atau “debaan” (Maulid Ad-Diba’iy). Pembaca Serekalan - Sambas Serakalan telah berkembang dikalangan masyarakat Sambas dan dikemas sedemikian rupa sehingga