Skip to main content

Keliling Yogyakarta - Desa Kasongan

Hampir menjelang siang, setelah meninggalkan Keraton Yogya Hadiningrat, kami kembali ke arah jalan Malioboro. Kami berhenti di dekat titik 0 km Yogyakarta dimana sebuah patung berbentuk akar yang menyelimuti potongan tubuh manusia dari pinggang hingga ke kaki berwarna merah berdiri tegak. Agak heran juga, apa arti dari patung yang sebenarnya tampak vulgar tersebut.

Berjalan sedikit dari patung seronok tadi, kami masuk ke halte TransYogya untuk berangkat menuju tujuan kami berikutnya, Desa Kasongan. Beruntung bagi kami, karena rencana kami untuk keliling Yogyakarta sangat terbantu dengan adanya bus TransYogya. Seperti di Jakarta dengan TransJakartanya, layanan TransJogja juga menghadirkan layanan transportasi yang aman, nyaman, dan murah. Berbagai potensi wisata yang luar biasa di Yogyakarta baik wisata budaya maupuan wisata alam telah didukung oleh sistem transportasi yang sangat baik. Wajar saja jika Yogyakarta menjadi salah satu destinasi wisata utama di Indonesia selain Bali.

Oke, balik lagi ke perjalanan kami. Ternyata TranssYogya tidak mengantarkan kami langsung ke Desa Kasongan. Kami turun di perempatan Dongkelan (kalau tidak salah... hehe), dan menyambung bus yang melewati jalan Bantul ke arah selatan Yogyakarta. Sebuah gapura berwarna merah khas tanah liat yang besar berdiri dengan megah di muka sebuah jalan menuju desa Kasongan. Yup, ternyata kami belum sampai di lokasi tempat pembuatan tembikar-tembikar tersebut.

Hari sudah sampai di pertengahan siang, kami turun dari bus, menyeberang jalan dan singgah dulu di sebuah warung nasi untuk makan siang. Menurut empunya warung, untuk sampai di desa kasongan kita bisa menggunakan ojek. Namun karena kami ramai, rasanya kurang efisien kalau menggunakan ojek (sebenarnya lebih karena biayanya mahal... hehehe). Kami berpikir untuk mencari cara lain agar bisa sampai di lokasi desa Kasongan dengan cara yang lebih efisien (alias murah). Dua orang teman kami (kalau tidak salah Pak Guriang dan Ariev) mencoba untuk melobi seorang pemilik mobil pick up yang rumahnya tidak jauh dari warung tempat kami makan. Mungkin karena muka melas kami, akhirnya si empunya pick up bersedia  mengantarkan rombongan kami ke desa Kasongan. Bahkan, beliau tidak menyebutkan tarif, terserah kami akan membayar berapa (mudah-mudahan cukup, Aamiin).

Naik Ojek Pick Up Dadakan - Desa Kasongan Yogyakarta
Alhamdulillah, jadilah kami menggunakan sebuah pick up untuk mencapai Desa Kasongan dengan bayaran seikhlasnya. Perjalanan dari gerbang menuju tempat pembuatan tembikar tidak terlalu lama. Sesampainya di perumahan lokasi pusat pembuatan tembikar, suasana agak sepi. Pusat kerajinan tembikar di kasongan bukanlah sebuah bangunan pabrik yang besar, namun berupa perumahan yang warga. Kerajinan tembikar kasongan memang umumnya adalah usaha keluarga yang diwariskan secara turun-temurun.

Rombongan kami berpencar mencari tempat masing-masing untuk di interogasi.. (emm.. diwawancarai maksudnya). Pada awalnya rombongan yang saya ikuti agak kebingungan mencari yang mana tempat yang bisa kami kunjungi, namun setelah memberanikan diri untuk mencari-cari dan masuk-masuk ke dalam gang-gang yang lebih kecil, kami berhasil juga menemukan salam satu tempat pembuatan tembikar.

Pembuatan Gerabah - Desa Kasongan Yogyakarta
Berbagai bentuk tembikar yang sudah jadi bisa dilihat di workshop yang kami kunjungi. Workshop tersebut tampak seperti garasi yang berada di samping sebuah rumah. Dari luar tampak hanya seperti rumah biasa dengan berbagai bentuk kerajinan tanah liat di depannya seperti gajah, anjing, dan tentu saja guci. Di workshop yang kami kunjungi kami mewawancarai para pengrajin yang sedang mengerjakan tembikarnya.

Dari bertanya kepada salah satu pekerja pembuat tembikar, saya ketahui bahwa harga satu buah tembikar, misalnya yang berbentuk guci hanya sekitar 70ribu rupiah. Namun harga yang sampai ke konsumen bisa berkali-kali lipat. Kenaikan harga tersebut bukan tanpa alasan, resiko kerusakan produk tembikar selama proses pengiriman sangat tinggi. Resiko kerusakan yang sangat tinggi tersebut di tanggung oleh pihak distributor, karena itu harganya menjadi sangat mahal. Jadi, jika anda tertarik untuk mendapatkan produk tembikar yang  murah, anda dapat membeli langsung di Desa Kasongan. Namun, anda harus membawa sendiri barang tersebut bersama resiko kerusakan dari barang yang sangat fragile ini.

Produk Gerabah - Desa Kasongan Yogyakarta

Dengan perkembangan yang relatif cepat, industri tembikar atau gerabah di Desa Kasongan mengalami masalah yang cukup signifikan. Pembuatan tembikar yang melibatkan proses pembakaran membutuhkan bahan bakar berupa kayu yang tidak sedikit, sementara persediaan kayu di hutan sekitar desa semakin menipis. Sebagai solusinya, masyarakat mendatangkan kayu dari luar desa, namun solusi ini juga tidak terlalu tepat karena hanya bersifat sementara dan harga kayu juga lebih mahal.

Setelah puas bertanya-tanya dan mengganggu para bapak-bapak dan ibu-ibu yang sedang membuat gerabah, kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Rombongan saya langsung kembali ke meeting point tempat kami berpisah di awal kedatangan kami di desa Kasongan. Lama menunggu karena tidak juga datang-datang, kami berjalan kedepan berharap akan bertemu dengan teman-teman yang lain. Namun tidak juga bertemu.

Matahari semakin condong ke barat, namun udara masih terasa panas. Kami singgah di sebuah mini market dan masing-masing membeli minuman untuk mengganti cairan tubuh yang sudah terkuras. Lelah juga rasanya, padahal baru tadi pagi kami sampai di Yogyakarta kami langsung berjalan kesana kemari. Terpikir oleh saya untuk memberhentikan pick up atau mobil-mobil dengan bak terbuka yang lewat dan meminta pengemudinya untuk memberikan kami tumpangan, karena memang tidak ada kendaraan umum yang melayani rute dari desa kasongan hingga gerbangnya. Berkali-kali saya melambaikan tangan, tidak ada juga yang berhenti. Teman-teman di belakang saya tertawa melihat saya berusaha mencari tumpangan. Dasar, hehehe...

Saya tidak juga menyerah. Sebuah mobil berwarna... apa ya... mungkin abu-abu gelap, dengan dua bangku panjang dari kayu yang saling membelakangi melintas dengan kecepatan rendah.  Saya memandangnya dengan keyakinan bahwa pengemudinya akan berhenti untuk membantu rakyat jelata seperti kami yang menjadi musafir di kampung arang. Benar saja, pak supir berhenti di dekat kami, teman-teman yang berada di belakang dan depan kami langsung bergerak cepat mendatangi mobil tersebut. Mobil apakah yang berhenti tersebut? Yup, sebuah mobil patroli polisi.

Kami semua naik keatas mobil tersebut dengan semangat. Kaki kami terselamatkan dari bergoyang untuk jarak yang cukup panjang. Lumayan untuk menghemat tenaga, karena perjalanan kami masih jauh dari selesai. Pak Polisi mengantarkan kami sampai gerbang desa, karena mobil patroli tersebut tidak boleh membawa penumpang gelap seperti kami sampai ke kota.

Sampai di gerbang desa kami langsung turu, namun tidak lupa terlebih dahulu mengabadikan kejadian yang sangat berkesan tersebut. Terimakasih pak Polisi, semoga amalnya mendapatkan balasan yang jauh lebih baik. Aamiin.

Perjalanan kami masih berlanjut. Menaiki bis ke arah kota, kami berhenti di salah satu halte Transyogya. Tujuan kami selanjutnya adalah Kawasan Wisata Arkeologi Candi Prambanan yang berada jauh ke timur dari kota, tepatnya di perbatasan wilayah Yogyakartan dan Jawa Tengah.

Comments

Popular posts from this blog

Horor Kampus IPB Baranangsiang

Kota Bogor memiliki banyak objek wisata yang menarik, salah satunya adalah bangunan kampus IPB Dramaga yang berada di tengah-tengah kota bogor, seberang jalan Kebun Raya Bogor. Sebagian area kampus ini sekarang telah menjadi bangunan yang kita kenal sebagai Mall Botani Square, Alhamdulillah pemerintah kota Bogor bersama pejabat-pejabat di Institut Pertanian Bogor telah menetapkan bangunan Kampus IPB Baranangsiang tersebut sebagai sebuah situs cagar budaya. Kampus IPB Baranangsiang tampak depan Sebagai salah satu bangunan tertua di kota Bogor, kampus IPB Baranangsiang memiliki banyak kisah Urban Legend. Beberapa yang paling terkenal adalah kisah tentang dosen misterius dan elevator tua. Kisah tentang dosen misterius saya dengar dari salah satu teman  sekelas saya di Pascasarjana ARL, beliau mendapatkan cerita itu dari seorang kakak tingkatnya. Jadi saya juga tidak mendapatkan langsung dari yang mengalaminya sendiri. Menurut cerita teman saya tersebut, pada suatu malam (kuliah

Tips Submit Artikel di Vivalog agar di Approve

Sudah bebeberapa artikel saya submit di vivalog , sudah beberapa kali malah, tapi tidak satu pun yang masuk dan di publish di sana. Rasanya agak frustasi juga (yang ringan saja), karena agak bertanya-tanya apa yang salah dari artikel saya. Saya pun mencari-cari apa yang salah dengan artikel yang saya submit di beberapa blog melalui google. Akhirnya karena tidak juga menemukan jawaban yang memuaskan saya melepas i-frame dari vivalog karena merasa ada ketidakadilan. Sementara saya memasang frame di blog saya, vivalog tidak menerima satupun artikel yang saya submit. Kemarin, saya mencoba kembali submit artikel di vivalog , Alhamdulillah, saya sangat bersyukur ternyata kali kemarin artikel saya bisa di approve dan di publish di vivalog. Bahkan langsung menjadi salah satu artikel populer, dan seperti penjelasan di banyak blog lainnya, visitor saya langsung meroket hingga sepuluh kali lipat. Rasanya jadi terbayar sekali saya membuat atau menyadur artikel di blog saya . Saya kemu

Serakalan - Budaya Masyarakat Melayu Sambas

Bagi masyarakat Sambas, Serakalan adalah kata yang sangat familiar. Serakalan adalah salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat Sambas, namun juga dikenal oleh beberapa masyarakat Islam lain di Indonesia. Kebudayaan ini masuk bersamaan dengan kedatangan Islam ke Indonesia. Beberapa waktu yang lalu dalam kunjungan saya ke Sambas sempat mengikuti acara Serakalan yang dilakukan di rumah salah satu keluarga jauh. Berada di tengah-tengah acara Serakalan tersebut benar-benar pengalaman baru bagi saya. Bersyukur juga budaya melayu ini masih dipertahankan masyarakat Sambas. Pada awalnya Serakalan merupakan wujud ekspresi ta’dzim yang berhubungan dengan peristiwa kedatangan Rasulullah hijrah di Madinah. Serakalan berisi syair-syair Pujian kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam istilah lain, ritual ini dapat pula disebut dengan Marhabanan atau “debaan” (Maulid Ad-Diba’iy). Pembaca Serekalan - Sambas Serakalan telah berkembang dikalangan masyarakat Sambas dan dikemas sedemikian rupa sehingga