Kota Gudeg, adalah sebutan lain bagi Kota Yogyakarta. Gudeg adalah makanan khas Yogyakarta berupa sayuran buah nangka muda bersantan beberapa campuran jenis sayuran lainnya. Rasanya manis seperti kebanyakan masakan Jawa lainnya. Pagi itu, setelah berkeliling-keliling Kampung Kauman, lapar mendera perut saya dan kawan-kawan. Kami bergerak menuju sebuah warung gudeg di tepi jalan salah satu sudut alun-alun utara keraton Yogya.
Sampai di warung gudeg tersebut, beberapa orang dari kami memesan nasi gudeg, tapi tidak dengan saya. Saya pernah makan nasi gudeg, entah kapan dan dimana saya lupa. Tapi pengalaman makan nasi gudeg tersebut tidak terlalu berkesan untuk sayam, mungkin karena saya biasa dengan masakan padang yang rasanya pedas. Ternyata Yanet (istri saya), dan Rio (salah satu teman sekelas kami) juga sama dengan saya, gudeg tidak mengundang selera kamil. Jadi kami berjalan lagi mencari tempat lain, langkah kami berhenti di warteg di salah satu sisi alun-alun. Kami memilih makan nasi biasa dengan sayur lodeh, yang ternyata rasanya juga manis, tapi tentunya in sya Allah tetap kami syukuri rezeki kami pagi itu. Selesai makan, kami kembali berkumpul dan melanjutkan perjalanan menuju Keraton Yogya Hadiningrat.
Jalan di depan keraton relatif ramai pagi itu, mobil dan motor lalu-lalang tidak terlalu laju. Di tepi jalan pedagang berbagai merchandise khas Yogya berbaris, yang paling menarik adalah penutup kepala bermotif batik. Ya, memang menarik, sayangnya saya sedang berhemat. Btw, setelah sekian lama, saya baru sadar saya salah kostum penutup kepala saat travelling keliling Yogya hari itu. Seolah-olah sedang jalan-jalan di hutan, padahal keliling kota yang ramai dengan mobil dan motor. Tapi.... lupakan saja... sudah lewat...
Masuk ke dalam area keraton, ramai sekali para pengunjung berbaris untuk membeli karcis masuk. Kawasan keraton memang sudah menjadi objek wisata di kota Yogya, jadi kita bisa masuk setelah membeli karcis masuk. Tapi tentu saja ada kawasan-kawasan tertentu yang tidak boleh kita masuki.
Komplek bangunan Keraton Yogya Hadiningrat seolah adalah sebuah museum hidup. Berbagai koleksi benda-benda bernilai sejarah ada dalam komplek Keraton Yogya. Yang menjadikan museum ini hidup adalah aktifitas-aktifitas budaya Jawa yang masih dilakukan hingga hari ini, dan tentu saja, keluarga Sultan Yogya yang masih tinggal di dalamnya.
Hingga hari ini, keraton Yogya seolah menjadi benteng pusat pertahanan kelestarian budaya Jawa.
Seorang ibu-ibu paruh baya menemani romobongan kami menjelajahi tempat-tempat di dalam keraton. Sebenarnya ada pagelaran tarian tradisional Jawa yang diiringi gamelan, tapi sayang mungkin kami kesiangan sehingga tidak sempat menyaksikannya. Jadinya hanya sempat berfoto di depan kumpulan alat musik gamelan yang sangat banyak di bawah atap sebuah bangunan berbentuk pendopo.
Selanjutnya kami hanya berjalan-jalan melihat-lihat koleksi-koleksi keraton sambil mendengarkan ibu guidenya yang bicara dengan bahasa Indonesia berlogat Jawa yang super medok. Saya tidak ingat apa saja yang dibicarakannya. :p Beberapa koleksi yang bisa kita lihat di dalam keraton misalnya lukisan, keris, foto-foto raja, koleksi barang pecah belah, dan lain sebagainya.
Penataan bangunan dan tanaman-tanaman dalam komplek keraton ini sangat apik dan menyejukkan. Namanya juga tempat tinggal raja, tentunya berkelas dan nyaman. Pohon-pohon rindang dan tempat duduk tentu akan membuat pengunjung merasa nyaman dan betah untuk berlama-lama. Namun, keraton sebenarnya adalah rumah, tentu kita sebagai tamu harus tahu diri kapan waktunya pulang. Jika teman-teman berniat mengunjungi keraton Yogya Hadiningrat, harap diingat bahwa keraton hanya dibuka pada pukul 7 pagi hingga pukul 12 siang.
Kami, setelah puas keliling-keliling kompleks Keraton Yogya Hadiningrat dan waktu sudah semakin siang segera keluar dari istana Raja Yogya dan melanjutkan perjalanan ke tujuan kami berikutnya, Desa Kasongan yang terkenal dengan produk tembikarnya.
Sampai di warung gudeg tersebut, beberapa orang dari kami memesan nasi gudeg, tapi tidak dengan saya. Saya pernah makan nasi gudeg, entah kapan dan dimana saya lupa. Tapi pengalaman makan nasi gudeg tersebut tidak terlalu berkesan untuk sayam, mungkin karena saya biasa dengan masakan padang yang rasanya pedas. Ternyata Yanet (istri saya), dan Rio (salah satu teman sekelas kami) juga sama dengan saya, gudeg tidak mengundang selera kamil. Jadi kami berjalan lagi mencari tempat lain, langkah kami berhenti di warteg di salah satu sisi alun-alun. Kami memilih makan nasi biasa dengan sayur lodeh, yang ternyata rasanya juga manis, tapi tentunya in sya Allah tetap kami syukuri rezeki kami pagi itu. Selesai makan, kami kembali berkumpul dan melanjutkan perjalanan menuju Keraton Yogya Hadiningrat.
Masuk ke dalam area keraton, ramai sekali para pengunjung berbaris untuk membeli karcis masuk. Kawasan keraton memang sudah menjadi objek wisata di kota Yogya, jadi kita bisa masuk setelah membeli karcis masuk. Tapi tentu saja ada kawasan-kawasan tertentu yang tidak boleh kita masuki.
Komplek bangunan Keraton Yogya Hadiningrat seolah adalah sebuah museum hidup. Berbagai koleksi benda-benda bernilai sejarah ada dalam komplek Keraton Yogya. Yang menjadikan museum ini hidup adalah aktifitas-aktifitas budaya Jawa yang masih dilakukan hingga hari ini, dan tentu saja, keluarga Sultan Yogya yang masih tinggal di dalamnya.
Hingga hari ini, keraton Yogya seolah menjadi benteng pusat pertahanan kelestarian budaya Jawa.
Pendopo Pagelaran Gamelan dan Tari |
Selanjutnya kami hanya berjalan-jalan melihat-lihat koleksi-koleksi keraton sambil mendengarkan ibu guidenya yang bicara dengan bahasa Indonesia berlogat Jawa yang super medok. Saya tidak ingat apa saja yang dibicarakannya. :p Beberapa koleksi yang bisa kita lihat di dalam keraton misalnya lukisan, keris, foto-foto raja, koleksi barang pecah belah, dan lain sebagainya.
Guide Keraton Yogya Hadiningrat |
Di dalam Keraton Yogya Hadiningrat |
Kami, setelah puas keliling-keliling kompleks Keraton Yogya Hadiningrat dan waktu sudah semakin siang segera keluar dari istana Raja Yogya dan melanjutkan perjalanan ke tujuan kami berikutnya, Desa Kasongan yang terkenal dengan produk tembikarnya.
Comments
Post a Comment