PETI - Pertambangan Tanpa Izin, adalah salah satu masalah lingkungan di Kalimantan Barat yang hingga saat ini belum menemukan solusi. Masalah PETI pada saat ini sepertinya tidak termasuk prioritas utama pemerintah untuk diselesaikan, padahal dampaknya di masa depan bisa menjadi sangat besar berhubungan dengan pelepasan Merkuri ke lingkungan. Telah umum diketahui merkuri bisa menyebabkan gangguan kesehatan yang sangat fatal untuk manusia, bahkan bisa membuat gangguan hingga ketingkat gen. Namun, sepertinya memang harus ada kejadian luar biasa agar sebuah masalah besar dianggap besar, untuk kemudian dilupakan lagi saat semua orang sudah menganggapnya biasa.
Bicara tentang kejadian besar terkait PETI, sekitar setengah bulan lalu telah terjadi sebuah bencana yang bisa dikatakan cukup besar. Saya sendiri sempat mendatangi tempat kejadian perkara pada tanggal 29 Agustus 2015 lalu. Sudah setengah bulan lewat, mungkin agak kadaluarsa ceritanya, tapi sayang juga kalau cuma ngendap dan terlupakan.
Perjalanan dimulai dari Pontianak pada pagi hari, selepas saya mengunjungi makam ananda Hanif Edelweissar. Satu supir, satu tamu dari Jakarta, satu direktur salah satu LSM di Pontianak, dan saya sendiri. Tengah hari kami sampai di Kota Bengkayang, setelah ishoma, perjalanan di lanjutkan ke Desa Tiga Berkat, Kecamatan Lumar. Di desa Tiga Berkat kami bersilaturahmi dengan kepala Desa. Rencana awal untuk mengunjungi Kapolsek Kecamatan Lumar di kantornya berubah, pak Kapolsek ternyata sedang berada di TKP tewasnya lima penambang di desa Belimbing. Jadi kami menyusul pak Kapolsek ke TKP.
Di tepi jalan, beberapa mobil dari Badan SAR Nasional (BASARNAS) terparkir di tepi jalan. Beberapa personil SAR duduk di depan warung beberapa meter dari mobil-mobil tersebut. Beberapa penduduk lokal sedang ngobrol tidak jauh dari orang-orang BASARNAS tadi. Saat kami turun dari mobil, seorang pemuda tampak tergesa-gesa berjalan. Penduduk setempat mengatakan bahwa pemuda yang tergesa-gesa tersebut adalah rekan dari lima orang korban yang terbenam dalam lubang tersebut.
Tiga kendaraan bermotor mengantarkan kami bertiga (minus supir) menuju TKP dimana Kapolsek berada. Jalan selebar tidak lebih dari setengah meter diterabas motor bebek yang suaranya sudah tidak terdengar biasa-biasa saja. Sesekali saya harus turun dari motor dan berjalan saat melalui jalur tanah dengan lubang-lubang yang hampir sedalam jari-jari roda dan lebarnya hanya selebar ban motor. Bahkan dimusim kering seperti saat ini kondisi jalan sangat memprihatinkan, apatah lagi saat musim hujan. Setelah berkendara selam lebih kurang 20 menit, kami disambut hamparan tanah berpasir dan lubang-lubang berair bekas penambangan illegal. Suara mesin pompa air menderu di udara dibawah langit cerah membiru.
Orang-orang berkumpul di dekat pondok di tepi jalan setapak yang juga digunakan untuk motor tersebut, anggota kepolisian, petugas Basarnas, dan penduduk setempat. Sekitar 30 meter dari pondok tersebut, petugas SAR bersama masyarakat berkumpul di satu dari 11 lubang galian tambang emas di kawasan tersebut yang menjadi TKP dari tragedi PETI tersebut.
Setelah ngobrol sebentar dengan Kapolsek bersama Pak Im dan pak Fahri, saya bersama salah satu pengendara motor yang membawa kami menuju lokasi PETI mendatangi lubang pintu masuk ke terowongan tambang tersebut. Terowongan tambang tersebut memiliki dua pintu masuk. Pintu utama adalah pintu dengan lorong vertikal berada di atas bukit dengan, pintu ini berfungsi sebagai tempat untuk mengeluarkan batuan yang diperkirakan mengandung emas. Pintu kedua horizontal berada di lereng bukit sekitar 20 meter dari lubang yang diatas, pintu kedua digunakan oleh penambang untuk keluar masuk dari tambang. Pertemuan lorong dari pintu pertama dan kedua membentuk sudut siku-siku.
Saat mendekat sekira 10 meter dari lubang pertama, aroma amis dan pembusukan telah tercium. Bau tersebut tercium dari air yang keluar dari ujung selang pompa yang digunakan untuk menguras lubang yang penuh dengan air tersebut. Namun, saat melangkah lebih dekat dengan mulut lorong, saya tidak lagi mencium aroma yang menyengat tersebut. Jadi bau tersebut hanya tercium dari air yang dikeluarkan dari lubang tambang.
Di depan pintu masuk lorong tersebut orang-orang sibuk mempersiapkan pompa dan selang untuk menguras air. Pompa yang disiapkan tersebut adalah pompa yang kedua dengan kapasitas tarikan yang lebih besar sehingga proses evakuasi dapat dilakukan dengan lebih cepat. Saya kemudian naik ke lubang masuk yang berada di atas bukit. Pintu masuk tersebut tampak seperti sumur biasa dengan katrol diatasnya, ukurannya sekitar 1x1 meter dengan sebuah mesin penarik untuk menaikkan batu yang diperkirakan mengandung emas. Dari atas bukit tempat lubang utama, kita bisa melihat seluruh area bekas tambang di sekitar area tersebut.
Berdasarkan informasi yang saya dapat dari teman yang membawa kami, lubang penggalian tersebut memiliki kedalaman vertikal sekitar 30- 40 meter dari permukaan tanah. Beberapa hari kemudian saya mendapatkan informasi bahwa total panjang lorong tambang tersebut mencapai 80 meter, kombinasi lorong vertikal dan horizontal. Pada kedalaman lorong tambang tersebut, oksigen menjadi sangat terbatas, jadi bagaimana mereka bernafas? Para penambang tersebut menggunakan mesin pompa udara dan memasukkan udara kedalam lorong dengan selang panjang hingga mencapai posisi mereka.
Mungkin banyak yang sudah menjelaskan tentang apa penyebab tewasnya kelima penambang tersebut? Tapi mungkin masih ada yang bingung tentang apa penyebab sebenarnya. Sebenarnya saya juga tidak tahu dengan penyebab sebenarnya, tapi berdasarkan penuturan beberapa orang di TKP, penyebab yang menurut saya paling masuk akal adalah karena adanya kebocoran air dari lubang tambang lain yang telah tinggalkan. Kebocoran air tersebut segera memenuhi lubang yang sedang digali para korban. Karena air mengisi dengan cepat dan posisi korban sangat dalam di dalam lubang, air menekan tubuh mereka hingga tidak dapat bergerak dan menyelamatkan diri. Air tersebut diperkirakan juga bercampur dengan lumpur sehingga masanya menjadi lebih besar.
Pada saat kejadian sebenarnya ada delapan orang sedang berada dalam lubang tersebut, tiga orang diantara mereka yang berada paling dekat dengan lubang keluar berhasil menyelamatkan diri dan keluar dari lubang tersebut.
Hingga menjelang maghrib proses penyedotan air dari lubang tambang tersebut masih berlangsung, suasana sekitar TKP semakin ramai dengan penduduk yang datang dari desa sekitar untuk melihat proses evakuasi yang tidak pernah selesai tersebut.*
Saat hari hampir gelap, kami kembali ke tepi jalan dimana mobil yang kami gunakan dan mobil lainnya dari Basarnas dan Polisi diparkirkan. Selanjutnya kami pulang ke Pontianak.
* Beberapa hari kemudian Basarnas dan Polisi menghentikan proses evakuasi karena keterbatasan alat dan personil serta. Jenazah tidak diangkat karena sudah dipastikan tidak bernyawa dan lokasinya jelas.
Area Tambang PETI di Kabupaten Bengkayang |
Perjalanan dimulai dari Pontianak pada pagi hari, selepas saya mengunjungi makam ananda Hanif Edelweissar. Satu supir, satu tamu dari Jakarta, satu direktur salah satu LSM di Pontianak, dan saya sendiri. Tengah hari kami sampai di Kota Bengkayang, setelah ishoma, perjalanan di lanjutkan ke Desa Tiga Berkat, Kecamatan Lumar. Di desa Tiga Berkat kami bersilaturahmi dengan kepala Desa. Rencana awal untuk mengunjungi Kapolsek Kecamatan Lumar di kantornya berubah, pak Kapolsek ternyata sedang berada di TKP tewasnya lima penambang di desa Belimbing. Jadi kami menyusul pak Kapolsek ke TKP.
Di tepi jalan, beberapa mobil dari Badan SAR Nasional (BASARNAS) terparkir di tepi jalan. Beberapa personil SAR duduk di depan warung beberapa meter dari mobil-mobil tersebut. Beberapa penduduk lokal sedang ngobrol tidak jauh dari orang-orang BASARNAS tadi. Saat kami turun dari mobil, seorang pemuda tampak tergesa-gesa berjalan. Penduduk setempat mengatakan bahwa pemuda yang tergesa-gesa tersebut adalah rekan dari lima orang korban yang terbenam dalam lubang tersebut.
Tiga kendaraan bermotor mengantarkan kami bertiga (minus supir) menuju TKP dimana Kapolsek berada. Jalan selebar tidak lebih dari setengah meter diterabas motor bebek yang suaranya sudah tidak terdengar biasa-biasa saja. Sesekali saya harus turun dari motor dan berjalan saat melalui jalur tanah dengan lubang-lubang yang hampir sedalam jari-jari roda dan lebarnya hanya selebar ban motor. Bahkan dimusim kering seperti saat ini kondisi jalan sangat memprihatinkan, apatah lagi saat musim hujan. Setelah berkendara selam lebih kurang 20 menit, kami disambut hamparan tanah berpasir dan lubang-lubang berair bekas penambangan illegal. Suara mesin pompa air menderu di udara dibawah langit cerah membiru.
Orang-orang berkumpul di dekat pondok di tepi jalan setapak yang juga digunakan untuk motor tersebut, anggota kepolisian, petugas Basarnas, dan penduduk setempat. Sekitar 30 meter dari pondok tersebut, petugas SAR bersama masyarakat berkumpul di satu dari 11 lubang galian tambang emas di kawasan tersebut yang menjadi TKP dari tragedi PETI tersebut.
Setelah ngobrol sebentar dengan Kapolsek bersama Pak Im dan pak Fahri, saya bersama salah satu pengendara motor yang membawa kami menuju lokasi PETI mendatangi lubang pintu masuk ke terowongan tambang tersebut. Terowongan tambang tersebut memiliki dua pintu masuk. Pintu utama adalah pintu dengan lorong vertikal berada di atas bukit dengan, pintu ini berfungsi sebagai tempat untuk mengeluarkan batuan yang diperkirakan mengandung emas. Pintu kedua horizontal berada di lereng bukit sekitar 20 meter dari lubang yang diatas, pintu kedua digunakan oleh penambang untuk keluar masuk dari tambang. Pertemuan lorong dari pintu pertama dan kedua membentuk sudut siku-siku.
Saat mendekat sekira 10 meter dari lubang pertama, aroma amis dan pembusukan telah tercium. Bau tersebut tercium dari air yang keluar dari ujung selang pompa yang digunakan untuk menguras lubang yang penuh dengan air tersebut. Namun, saat melangkah lebih dekat dengan mulut lorong, saya tidak lagi mencium aroma yang menyengat tersebut. Jadi bau tersebut hanya tercium dari air yang dikeluarkan dari lubang tambang.
Di depan pintu masuk lorong tersebut orang-orang sibuk mempersiapkan pompa dan selang untuk menguras air. Pompa yang disiapkan tersebut adalah pompa yang kedua dengan kapasitas tarikan yang lebih besar sehingga proses evakuasi dapat dilakukan dengan lebih cepat. Saya kemudian naik ke lubang masuk yang berada di atas bukit. Pintu masuk tersebut tampak seperti sumur biasa dengan katrol diatasnya, ukurannya sekitar 1x1 meter dengan sebuah mesin penarik untuk menaikkan batu yang diperkirakan mengandung emas. Dari atas bukit tempat lubang utama, kita bisa melihat seluruh area bekas tambang di sekitar area tersebut.
Pompa Air untuk Menguras Lubang Galian Tambang |
Lubang utama galian tambang TKP |
Pada saat kejadian sebenarnya ada delapan orang sedang berada dalam lubang tersebut, tiga orang diantara mereka yang berada paling dekat dengan lubang keluar berhasil menyelamatkan diri dan keluar dari lubang tersebut.
Hingga menjelang maghrib proses penyedotan air dari lubang tambang tersebut masih berlangsung, suasana sekitar TKP semakin ramai dengan penduduk yang datang dari desa sekitar untuk melihat proses evakuasi yang tidak pernah selesai tersebut.*
Saat hari hampir gelap, kami kembali ke tepi jalan dimana mobil yang kami gunakan dan mobil lainnya dari Basarnas dan Polisi diparkirkan. Selanjutnya kami pulang ke Pontianak.
* Beberapa hari kemudian Basarnas dan Polisi menghentikan proses evakuasi karena keterbatasan alat dan personil serta. Jenazah tidak diangkat karena sudah dipastikan tidak bernyawa dan lokasinya jelas.
Waaah ngeri banget ya. Ada ijin aja pertambangan itu bahaya makanya safetynya ketat, apalagi nggak ada ijin ya. Belum lagi tidak adanya kendali terhadap kerusakan lingkungan.
ReplyDeletekondisi lingkunganya memang sangat memprihatinkan mbak, dampak yang paling fatal di masa depan adalah merkuri yang dilepaskan ke lingkungan... mudah2n bencana itu tidak pernah datang...
Delete