Saat ini hampir semua orang memiliki handphone, dan hampir semua handphone saat ini dilengkapi dengan kamera. Kesimpulannya, hampir semua orang memiliki kamera. Tidak sedikit juga orang yang memiliki kamera yang memang khusus kamera, baik poket maupun DSLR. Tujuan semua kamera adalah untuk mendokumentasikan momen yang terjadi disekitar kita, agar momen itu dapat direkam dan bisa kita lihat sewaktu-waktu di masa depan. Namun, saat ini saya melihat sebuah keanehan dalam hubungan antara manusia, kamera dan kejadian atau momen yang dialaminya.
Saya melihat keanehan tersebut terjadi pada diri saya sendiri pada saat malam takbiran tahun lalu. Malam itu saya bersama istri dan beberapa teman menyusuri tepian sungai kapuas untuk menikmati atraksi meriam karbit yang memang rutin dilaksanakan setiap malam takbiran. Malam itu, mungkin puluhan meriam dinyalakan, sepanjang malam hingga menjelang subuh langit kota pontianak bergetar karena bunyinya. Cerita lebih lengkap tentang meriam ini bisa di baca disini. Tapi apa kaitan meriam karbit dengan tulisan ini? Begini ceritanya.
Momen yang paling penting saat melihat atraksi meriam karbit adalah saat kita bisa melihat letupan meriam dari dekat. Nyala api yang tidak sampai satu detik dan suara dentumannya yang bisa membuat bahkan tubuh anda bergetar. Dari jarak sekitar 15 meter anda bisa merasakan hempasan udara di sekujur tubuh. Saya merasa sangat beruntung bisa merasakan itu, namun... saat jalan-jalan tersebut akan selesai, saya baru menyadari bahwa saya sama sekali belum ada melihat secara langsung nyala meriam yang disulut. Saya hanya melihatnya dari kamera, baik dibalik lensa maupun dari LCD. Apa masalahnya melihat dari kamera?
Masalahnya adalah saya bukan fotografer profesional yang hidup dengan mengabadikan momen-momen penting di dunia. Saya amatir yang juga ingin menikmati momen-momen langka yang ada didunia ini. Salah satunya adalah meriam karbit yang saya ceritakan tadi. Saya merasa rugi karena tidak bisa melihat langsung ledakannya. Tapi, kadang rasanya kontras sekali kalau keadaannya dibalik. Saat saya berhasil melihat sebuah momen luar biasa yang nyata di depan saya dan saya tidak berhasil mengambil gambarnya, momen tersebut adalah saat seekor elang menyambar ikan dalam sungai yang jaraknya hanya beberapa meter dari speedboat yang saya tumpangi.
Saat sedang melaju diatas speedboat, dari arah kanan seekor kami melihat seekor elang sedang berputar dan mengawasi permukaan sungai di depan kami. Selang sekitar dua detik kemudian elang tersebut mengubah posisi sayapnya, antara menutup dan merentang. Posisi tersebut adalah tanda dia akan terbang dengan kecepatan tinggi menghujam menghadap kebawah secara vertikal. Bersama kami lewat, elang tersebut hampir mencapai permukaan air. Sekitar dua meter dari permukaan air dia berhenti dan mengubah posisi, tubuhnya menjadi horizontal. Cengkram kakinya menghadap ke bawah, kemudian di turun lagi sampai di permukaan air. Seekor ikan telah berada di dalam cengkraman kakinya, speedboat berhenti dan dia kembali membumbung. Semua terjadi di depan mata kami, tidak ada yang memegang kamera atau handphone.
Saat burung tersebut sedang menukik sebenarnya saya berpikir untuk mengeluarkan kamera dan membidiknya. Namun saya sadar bahwa kamera saya tidak akan bisa mendapatkan gambar yang baik dari momen tersebut. Lensanya sepertinya tidak akan memberikan fokus yang baik, dan kalaupun lensanya bagus, waktu yang saya miliki tidak akan cukup. Apatah lagi untuk mendapatkan fokusnya, mengambil kamera yang masih dalam tas pun tidak akan cukup. Jadi, keputusannya, saya akan menikmati momen tersebut untuk sendiri. Hanya dalam ingatan, karena tidak semua momen bisa atau harus kita bagi dengan orang lain.
Namun, kadang pikiran itu hanya menjadi penghibur hati karena saya tidak bisa mendapatkan gambarnya. Namun lagi, mengingat kondisi waktu itu yang memang tidak memungkinkan, yang terjadi adalah yang terbaik. Jadi mana yang terbaik? Mengambil gambar atau liveview? Menurut saya, lihatlah kondisinya, tapi sebisa mungkin lihatlah dulu secara langsung. Kalau ada momen lagi, baru ambil gambarnya. Pastikan kita punya pengalamannya, baru bantu orang lain ikut menikmati momen tersebut.
Saya melihat keanehan tersebut terjadi pada diri saya sendiri pada saat malam takbiran tahun lalu. Malam itu saya bersama istri dan beberapa teman menyusuri tepian sungai kapuas untuk menikmati atraksi meriam karbit yang memang rutin dilaksanakan setiap malam takbiran. Malam itu, mungkin puluhan meriam dinyalakan, sepanjang malam hingga menjelang subuh langit kota pontianak bergetar karena bunyinya. Cerita lebih lengkap tentang meriam ini bisa di baca disini. Tapi apa kaitan meriam karbit dengan tulisan ini? Begini ceritanya.
Momen yang paling penting saat melihat atraksi meriam karbit adalah saat kita bisa melihat letupan meriam dari dekat. Nyala api yang tidak sampai satu detik dan suara dentumannya yang bisa membuat bahkan tubuh anda bergetar. Dari jarak sekitar 15 meter anda bisa merasakan hempasan udara di sekujur tubuh. Saya merasa sangat beruntung bisa merasakan itu, namun... saat jalan-jalan tersebut akan selesai, saya baru menyadari bahwa saya sama sekali belum ada melihat secara langsung nyala meriam yang disulut. Saya hanya melihatnya dari kamera, baik dibalik lensa maupun dari LCD. Apa masalahnya melihat dari kamera?
Dentuman Meriam Karbit di Tepian Sungai Kapuas |
Saat sedang melaju diatas speedboat, dari arah kanan seekor kami melihat seekor elang sedang berputar dan mengawasi permukaan sungai di depan kami. Selang sekitar dua detik kemudian elang tersebut mengubah posisi sayapnya, antara menutup dan merentang. Posisi tersebut adalah tanda dia akan terbang dengan kecepatan tinggi menghujam menghadap kebawah secara vertikal. Bersama kami lewat, elang tersebut hampir mencapai permukaan air. Sekitar dua meter dari permukaan air dia berhenti dan mengubah posisi, tubuhnya menjadi horizontal. Cengkram kakinya menghadap ke bawah, kemudian di turun lagi sampai di permukaan air. Seekor ikan telah berada di dalam cengkraman kakinya, speedboat berhenti dan dia kembali membumbung. Semua terjadi di depan mata kami, tidak ada yang memegang kamera atau handphone.
Saat burung tersebut sedang menukik sebenarnya saya berpikir untuk mengeluarkan kamera dan membidiknya. Namun saya sadar bahwa kamera saya tidak akan bisa mendapatkan gambar yang baik dari momen tersebut. Lensanya sepertinya tidak akan memberikan fokus yang baik, dan kalaupun lensanya bagus, waktu yang saya miliki tidak akan cukup. Apatah lagi untuk mendapatkan fokusnya, mengambil kamera yang masih dalam tas pun tidak akan cukup. Jadi, keputusannya, saya akan menikmati momen tersebut untuk sendiri. Hanya dalam ingatan, karena tidak semua momen bisa atau harus kita bagi dengan orang lain.
Namun, kadang pikiran itu hanya menjadi penghibur hati karena saya tidak bisa mendapatkan gambarnya. Namun lagi, mengingat kondisi waktu itu yang memang tidak memungkinkan, yang terjadi adalah yang terbaik. Jadi mana yang terbaik? Mengambil gambar atau liveview? Menurut saya, lihatlah kondisinya, tapi sebisa mungkin lihatlah dulu secara langsung. Kalau ada momen lagi, baru ambil gambarnya. Pastikan kita punya pengalamannya, baru bantu orang lain ikut menikmati momen tersebut.
Saya juga sering mengalami hal demikian. Kadang saat berkendara di jalan, banyak sekali momen yang potretable yang hanya terjadi sekilas. Begitu mau ambil gambarnya, lenyap sudah momen itu. mengenaskan :D
ReplyDeletepaling tidak kita sudah dapat liveviewnya mas... :)
DeleteSaya yg sangat sering menghibur hati, ah keindahan ini mungkin spesial dari Allah untuk saya, bukan untuk orang lain. Hehe.
ReplyDeleteSaya tidak pandai foto-memfoto, ya jadinya jika dirasa butuh saja baru saya pakai. Semisal ketika malas mencatat materi ketika belajar di kampus. Tinggal foto. Nanti kalau sudah dinkos baru disalin. Itupun kalau ingat.
pemikiran tentang momen spesial itu sangat menghibur bagi saya juga mas, tapi namanya manusia, kadang-kadang rasanya ada ngenes gitu... hehe..
Delete