Skip to main content

Refreshing dan Camping di Bukit Wangkang, Kubu Raya

Camping bagi saya sendiri seperti sebuah tombol refresh dari kehidupan sehari-hari dengan berbagai kesibukannya. Namun tentu saja kegiatan ini akan asik sekali kalau dilakukan beramai-ramai, untuk saya yang menurut beberapa test termasuk orang yang ekstrovert. Alhamdulillah kesempatan untuk camping ramai-ramai itu datang juga, saat sedang ngumpul di sekretariat Mapala, salah satu anggota yang sedang ngumpul memberitahukan bahwa mereka berencana untuk camping di bukit Wangkang yang terletak di Kabupaten Kubu Raya. Bukit yang baru beberapa bulan belakangan saya dengar namanya, dan memang ingin juga saya mengunjunginya.
Baca juga:
8 Alasan Ilmiah Kenapa Anda Harus Lebih Banyak Berkegiatan di Alam Bebas

Ramai-ramai di Batu sekitar Puncak Bukit Wangkang
Singkat cerita, sabtu tanggal 28 Mei 2016 kemarin kami berangkat menuju Bukit Wangkang. Rencana awal untuk berangkat pukul 9 tertunda hingga beberapa jam. Sekitar pukul 13.30 kami berangkat dari sekretariat, awan hitam menggantung di barat langit. Meskipun kemungkin besar angin barat akan membawa gumpalan-gumpalan raksasa itu kearah yang sama dengan kami, saya tetap optimis kami akan berhasil mencapai tempat yang kami tuju.

Siang itu, hujan memang menjadi rezeki kami, saat baru saja keluar dari pintu gerbang kota, hujan yang lumayah deras turun meskipun baru ujung dari gumpalan itu yang sampai. Hujan turun tidak terlalu lama, tapi arah angin cukup mudah untuk dibaca menahan saya dari membuka jas hujan yang saya kenakan.

Memasuki daerah Rasau, gumpalan hitam raksasa menutupi langit diatas kami. Deras air yang jatuh cukup menggentarkan hati saya, tapi belum sampai menyurutkan semangat untuk bertualang. Dalam hati saya berpikir, hujan ini adalah ujian pertama dalam perjalanan ini, dalam hati pula saya bertanya... "akankah ada yang surut semangat?"
Ternyata tidak, nyanyian yang saya lantunkan dalam hati keluar dari mulut rekan yang lain...
"Panas terik... hujan berangin... majulah ayo maju! Ayo maju".

Saya mengira kami akan menyeberang di dermaga Rasau Jaya, ternyata salah. Motor belok ke kanan melintasi jalan pedesaan yang lebih kecil dan lebih banyak mozaik lubang, batu dan genangan air. Motor saya pacu perlahan, lubang-lubang di jalan memberi efek yang kurang nyaman untuk punggung saya. Ternyata pemiliki motor yang saya bonceng berpikir kecepatan kami terlalu rendah, tapi saya memang terkadang menerapkan pepatah orang jawa... alon-alon asal kelakon. Menjelang jam lima sore, kami masih menggilas jalan tanah merah perkebunan kelapa sawit yang basah. Untungnya tanah merah tersebut tidak terlalu adhesif dengan ban motor, dan cukup solid untuk dilindas.

Garis-garis jalan Perkebunan Sawit tampak dari atas Bukit Wangkang (abaikan orangnya :p)
Setelah sempat berputar-putar karena jalan pintas yang rencananya akan kami lewati ternyata terputus karena terendam, akhirnya kami sampai di pemukiman masyarakat yang berada di kaki bukit. Hujan rintik masih mengiringi perjalanan kami, mungkin hujan juga yang membuat suasan kampung terasa agak sepi.

Kami singgah di rumah ketua RT setempat untuk memberitahukan rencana kami naik ke Bukit Wangkang sekaligus untuk menitipkan kendaraan kami yang tidak mungkin dibawa muncak. Proses penitipan dan pemberitahuan ini tidak memakan waktu lama, kami langsung bergerak menuju kaki bukit dimana terdapat gazebo yang bisa kami gunakan untuk isho sejenak. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, Alhamdulillah shalat masih dapat diraih.

Hari semakin gelap, pemandangan pohon-pohon di dalam hutan yang masih terhitung hutan hujan tropis ini hanya menyisakan siluet-siluet tiang tinggi dengan percabangan-percabangan di bagian atasnya. Mungkin masih sangat dekat dengan keramaian manusia, tapi rasanya cukup untuk bermesraan dengan alam. Bukit Wangkang bukan gunung yang tinggi, dari permukaan laut tingginya sekitar 340-an meter, namun untuk kegiatan tracking amatir, rasanya cukup memuaskan saya.

Jalan setapak yang kami lalui tampaknya relatif sering dilalui oleh manusia, apa yang mereka cari? Menurut salah satu Alang, diatas puncak bukit ini terdapat kelenteng yang menjadi tempat orang Tionghoa beribadah, selain itu, bukit Wangkang memang sering dikunjungi pemuda-pemudi di sekitar kawasan untuk berekreasi. Hal ini kami buktikan keesokan harinya saat sampai di puncak bukit.

Mungkin antara pukul 7 dan pukul 8 malam, kami sampai di area yang agak lapang namun tetap di bawah kanopi pepohonan yang relatif lebat. Masih dalam gerimis mengundang yang membasahi dan dan batang-batang kayu, masing-masing orang mulai sibuk dengan tugas masing-masing. Sebagian mendirikan shelter, sebagian menyiapkan api, sebagian berusaha untuk tampak sibuk, yang terakhir ini adalah saya sendiri.
Baca juga:
Sehat dan Awet Muda dengan Camping

Kayu yang basah tidak bisa menjadi alasan kenapa begitu lama waktu yang dibutuhkan untuk menyalakan api, namun jenis kayu yang tersedia di lokasi menurut saya cukup kuat untuk menjadi alasannya. Kayu sudah dicacah, namun sulit untuk hidup. Namun, bagaimanapun, berkat kerja keras dan ulet dari teman-teman, api tersebut menyala. Kami bisa menghangatkan diri dan memasak untuk makan malam kami yang sudah agak terlambat.

Lepas urusan perut, masing-masing mencari kesibukan lagi. Sebagian bercengkrama di sekitar tenda, sebagian lain kembali mencari ikan di sungai-sungai kecil tidak jauh dari camp. Alang yang sebelumnya pernah berkunjung ke Bukit Wangkang menceritakan bahwa di sungai-sungai kecil tersebut banyak terdapat ikan lele liar yang bisa ditangkap dengan cara dipancing.  Sebagai umpannya, kami mencari udang-udang kecil yang terdapat di sungai tersebut. Cukup banyak udang yang kami dapatkan, walaupun dengan gampang-gampang susah. Karena tidak juga mendapatkan ikan dan waktu semakin malam, pancing di tajur dan kami kembali ke camp. Kembali bercengkrama beramai-ramai, dibawah rindang pohon-pohon dan bintang-bintang yang mengintip di balik daun-daun yang tampak hitam.

Saya duduk di atas matras yang digelar di samping api yang menyala dan terjaga, mengelilingi api tersebut kami berbicara apa saja yang terlintas dalam pikiran. Kebanyakan cerita suka suka dan lucu-lucu yang sering terjadi di sekretariat kami yang tercinta. Inilah bagian yang paling saya senangi dari camping ramai-ramai, mendengarkan cerita-cerita lucu dari teman-teman, walaupun seringnya saya akan cepat tertidur, dan memang demikianlah yang terjadi malam itu.

Hingga waktu yang semakin larut mengajak kami semua untuk tidur, kecuali saya yang memang sudah tertidur bergelung di atas matras dan kecuali yang bertugas untuk jaga malam, dan tentu saja itu bukan saya... hehehe. Ternyata doom yang dibawa tidak cukup untuk menampung kami semua, kecuali dipaksakan jika turun hujan. Bersyukurnya, hujan tidak turun malam itu, sehingga sebagian dari rombongan ada yang tetap diluar sambil jaga malam. Menjelang subuh baru mereka tidur, seperti shift jaga.

Rasanya waktu tidur hanya singkat, tapi cukup untuk mengistirahatkan tubuh dari lelah perjalanan dan sedikit pendakian kemarin. Burung-burung bernyanyi di pucuk-pucuk dan di cabang-cabang pohon dengan tinggi hingga 20 meter, menceriakan pagi itu. Di dekat api yang menyala sejak malam sebelumnya, sebuah nampan tampak berisi sesuatu. Ternyata ikhtiar memancing yang dengan serius di gawai oleh kawan-kawan membuahkan hasil, jadilah kami makan daging pagi itu. Daging ikan lele.

sarapan di bukit wangkang
Siap-siap Sarapan
Setelah kampung tengah mendapatkan jatahnya, rombongan kembali membagi tugas secara otomatis tanpa komando. Sebagian mencuci alat masak dan alat makan, sebagian membersihkan diri, sebagian mengeluarkan sesuatu yang tidak bersih, dan sebagian mungkin ada yang kurang bersih... hehe

Waktu tampak seperti sungai-sungai yang santai di permukaan namun deras di dalamnya. Kami mengemaskan barang dengan segera untuk mengejar puncak. Segera setelah semua barang di packing sekitar pukul 10, kami berbaris melewati jalan setapak yang tidak terlalu curam. Sisa-sisa hujan kemarin sore masih tampak dari permukaan tanah dan daun-daun lantai hutan yang masih basah.  Hanya sedikit bagian dari track ini yang agak menanjak, walaupun sedikit, cukup untuk memaksa rombongan untuk berhenti sejenak menarik lebih dalam udara segar hutan Bukit Wangkang. Sebenarnya track yang kami lewati tidak terlalu berat dan, tapi karena beberapa kali beristirahat sambil bercanda dan bercerita, setelah dua jam baru kami sampai di tumpukan batu tidak jauh dari puncak bukit.

Senjata utama untuk perjalanan telah siap sejak di Pontianak, kamera yang telah cukup lama menemani hampir semua perjalanan saya dan dinda. Kali ini, sebenarnya saya tidak terlalu bersemangat untuk memotret pemandangan dari atas bukit tersebut, namun melihat semangat adik-adik yang tinggi untuk bernarsis ria, jadilah mereka yang menjadi objek utama foto yang saya ambil, dan tentu saja saya sendiri dengan meminta salah satu dari mereka untuk mengambil gambar saya.

Kawasan perbukitan di kawasan Kubu Raya ini cukup luas dengan pohon-pohon besar yang masih tersisa. Namun kawasan perbukitan ini seperti pulau di lautan perkebunan monokultur yang tampak seperti jaring-jaring kotak-kotak berwarna hijau dengan garis-garis berwarna coklat kemerahan. Bagi saya, pemandangan itu menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan, walaupun dipandang dari ketinggian. Jadi saya lebih senang mengambil Pemandangan hutan-hutan dari atas bukit.

Setelah puas mengambil gambar pemandangan dan anggota rombongan di atas batu-batu yang sebenarnya tampak agak mengerikan jika berdiri di pinggirnya itu, kami naik sedikit kearah puncak dan beristirahat dibawah pohon yang cukup rindang namun agak terang karena dihadapan kami pohon-pohon tumbuh tidak terlalu rapat. Waktu istirahat tersebut bersamaan dengan waktu makan. Untungnya masih ada sisa nasi dari pagi yang tidak habis yang dibawa, ada juga sambal goreng tempe dan bihun yang dibawa salah satu anggota rombongan. Jadilah kami makan seadanya sekedar mengganjal perut sebagai bahan bakar untuk perjalan turun kami.

Perjalanan turun hanya revers dari perjalanan naik, kami langsung menuju kaki bukit ke kampung tempat kami menitipkan motor. Setelah mengurus administrasi dengan ketua RT, kami langsung berangkat pulang. Setelah sempat tersesat di perkebunan kelapa sawit yang tampak serba sama di semua sudutnya, dan sempat merasakan hujan deras sekali lagi di Rasau, kami pun sampai di kediaman masing-masing.

Comments

  1. Waaa, seru. Tapi bagus gak adx ndak ikut ye da. Jalannye jelek dan doom nye ternyate tak cukup. Untung ndak ujan. Klo ujan ndak kee... penoh

    ReplyDelete
    Replies
    1. jalan emang jelek sangan dind, tapi kalau doom sih kayaknye cukup untuk yang cewek... kayaknye... hehe

      Delete
  2. wah jadi inget masa muda, paling suka camping

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya masih suka camping mbak, jadi saya masih muda... hehe...

      Delete
  3. wah rame" begini emang seruu ya mas keceh sangat dah...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Horor Kampus IPB Baranangsiang

Kota Bogor memiliki banyak objek wisata yang menarik, salah satunya adalah bangunan kampus IPB Dramaga yang berada di tengah-tengah kota bogor, seberang jalan Kebun Raya Bogor. Sebagian area kampus ini sekarang telah menjadi bangunan yang kita kenal sebagai Mall Botani Square, Alhamdulillah pemerintah kota Bogor bersama pejabat-pejabat di Institut Pertanian Bogor telah menetapkan bangunan Kampus IPB Baranangsiang tersebut sebagai sebuah situs cagar budaya. Kampus IPB Baranangsiang tampak depan Sebagai salah satu bangunan tertua di kota Bogor, kampus IPB Baranangsiang memiliki banyak kisah Urban Legend. Beberapa yang paling terkenal adalah kisah tentang dosen misterius dan elevator tua. Kisah tentang dosen misterius saya dengar dari salah satu teman  sekelas saya di Pascasarjana ARL, beliau mendapatkan cerita itu dari seorang kakak tingkatnya. Jadi saya juga tidak mendapatkan langsung dari yang mengalaminya sendiri. Menurut cerita teman saya tersebut, pada suatu malam (kuliah

Serakalan - Budaya Masyarakat Melayu Sambas

Bagi masyarakat Sambas, Serakalan adalah kata yang sangat familiar. Serakalan adalah salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat Sambas, namun juga dikenal oleh beberapa masyarakat Islam lain di Indonesia. Kebudayaan ini masuk bersamaan dengan kedatangan Islam ke Indonesia. Beberapa waktu yang lalu dalam kunjungan saya ke Sambas sempat mengikuti acara Serakalan yang dilakukan di rumah salah satu keluarga jauh. Berada di tengah-tengah acara Serakalan tersebut benar-benar pengalaman baru bagi saya. Bersyukur juga budaya melayu ini masih dipertahankan masyarakat Sambas. Pada awalnya Serakalan merupakan wujud ekspresi ta’dzim yang berhubungan dengan peristiwa kedatangan Rasulullah hijrah di Madinah. Serakalan berisi syair-syair Pujian kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam istilah lain, ritual ini dapat pula disebut dengan Marhabanan atau “debaan” (Maulid Ad-Diba’iy). Pembaca Serekalan - Sambas Serakalan telah berkembang dikalangan masyarakat Sambas dan dikemas sedemikian rupa sehingga

Tips Submit Artikel di Vivalog agar di Approve

Sudah bebeberapa artikel saya submit di vivalog , sudah beberapa kali malah, tapi tidak satu pun yang masuk dan di publish di sana. Rasanya agak frustasi juga (yang ringan saja), karena agak bertanya-tanya apa yang salah dari artikel saya. Saya pun mencari-cari apa yang salah dengan artikel yang saya submit di beberapa blog melalui google. Akhirnya karena tidak juga menemukan jawaban yang memuaskan saya melepas i-frame dari vivalog karena merasa ada ketidakadilan. Sementara saya memasang frame di blog saya, vivalog tidak menerima satupun artikel yang saya submit. Kemarin, saya mencoba kembali submit artikel di vivalog , Alhamdulillah, saya sangat bersyukur ternyata kali kemarin artikel saya bisa di approve dan di publish di vivalog. Bahkan langsung menjadi salah satu artikel populer, dan seperti penjelasan di banyak blog lainnya, visitor saya langsung meroket hingga sepuluh kali lipat. Rasanya jadi terbayar sekali saya membuat atau menyadur artikel di blog saya . Saya kemu